Broom Corn Johnnys – Limbah rumah tangga yang bagi banyak orang hanya dianggap sampah, bagi Argopandoyo dan Vera Tjahyani adalah sumber penghidupan dan kreativitas. Di sebuah garasi kecil di pinggiran Yogyakarta, mereka menyulap tumpukan plastik bekas dan kemasan produk harian menjadi barang-barang fungsional dengan nilai jual. Mereka tidak menggunakan mesin modern atau peralatan mahal, hanya tangan, gunting, dan alat pres sederhana. Prosesnya pun dilakukan sepenuh hati: mulai dari memilah bahan berdasarkan jenis dan warna, mencucinya dengan sabun batangan, lalu menjemurnya di bawah sinar matahari. Bagi mereka, aktivitas ini bukan sekadar pekerjaan, tapi juga bentuk tanggung jawab terhadap lingkungan dan usaha menciptakan ruang hidup yang lebih layak. Dalam keheningan pagi, suara gunting yang memotong plastik terdengar seperti ritme harian yang menandai awal kerja mereka. Setiap produk yang dihasilkan bukan hanya benda jadi, tapi juga simbol dari tekad untuk tidak menyerah pada keterbatasan.
“Baca Juga : Inspirasi Dekorasi Ruangan Kamar Pria Dengan Tema Hitam Putih Elegan”
Limbah rumah tangga yang dikumpulkan setiap hari diolah satu per satu oleh tangan Argopandoyo dan Vera. Botol sabun bekas diubah menjadi pot tanaman kecil. Tutup botol dirangkai menjadi tatakan gelas warna-warni. Bungkus kopi instan dijahit menjadi tas belanja yang kuat. Semuanya dibuat manual, tanpa alat canggih. Mereka percaya, hasil buatan tangan lebih punya rasa dan makna. Vera menyebut setiap barang sebagai cerita hidup: dari siapa menggunakannya, hingga bagaimana mereka mengubahnya jadi sesuatu yang berguna. Semua proses dilakukan perlahan tapi pasti.
“Simak juga: Brand Moon Pancake Hadirkan Gaya Unik Lewat Aksesori”
Setiap hari dimulai sebelum matahari terbit. Argopandoyo langsung memotong plastik bekas dengan gunting besar. Vera, di sisi lain, mencuci plastik dengan air cuka dan sabun batang. Setelah itu, plastik dijemur di pekarangan belakang. Tempat itu kini penuh tali jemuran berisi plastik warna-warni. Saat kering, plastik disortir ulang sebelum dijahit atau ditempel. Mereka menyelesaikan hingga 30 produk per hari. Semuanya dilakukan sendiri, tanpa karyawan atau bantuan luar. Setiap barang benar-benar hasil tangan mereka.
Kegiatan Argopandoyo dan Vera menginspirasi tetangga sekitar. Warga mulai menyumbangkan plastik dan botol bekas ke rumah mereka. Anak-anak pun ikut terlibat setelah pulang sekolah—membantu memilah warna dan bentuk. Dampaknya, kesadaran terhadap pengolahan sampah meningkat. Banyak keluarga kini tak lagi membakar sampah plastik. Gerakan kecil ini mengubah cara pandang lingkungan, satu rumah tangga dalam satu waktu. Perlahan, kebiasaan baru mulai terbentuk di kampung itu.
Pasangan ini menjalankan semua dengan mandiri. Tidak ada dana hibah, sponsor, atau bantuan CSR. Hasil penjualan produk diputar untuk membeli bahan seperti benang jahit, lem, dan pewarna. Kadang mereka ikut pameran lokal. Tapi selebihnya, pemasaran dilakukan dari mulut ke mulut. Argopandoyo percaya bahwa konsistensi lebih penting dari popularitas. Selama bisa terus produksi dan menjaga kebersihan lingkungan, mereka merasa sudah cukup berhasil.
Alih-alih membuat seminar atau pelatihan formal, Vera mengajak anak-anak belajar langsung. Mereka dilatih membuat gantungan kunci dari bungkus mie instan. Ada juga yang diajak membuat tempat pensil dari botol plastik. Edukasi ini tidak memaksa, tapi mengalir alami dari aktivitas harian. Anak-anak merasa senang karena langsung melihat hasil dari kerja mereka. Dari situ, kesadaran akan sampah tumbuh tanpa harus digurui. Mereka jadi tahu bahwa barang bekas bisa diubah jadi sesuatu yang berguna.
Banyak kendala muncul—cuaca buruk, alat tumpul, listrik padam. Tapi semua bisa mereka atasi. Kalau hujan, penjemuran ditunda. Kalau gunting rusak, mereka pakai pisau dapur. Tidak ada keluhan, hanya penyesuaian. Dalam keterbatasan, mereka terus bergerak. Menurut Vera, kerja tangan itu harapan. Dari rumah kecil, dari limbah rumah tangga, mereka percaya bahwa perubahan bisa dimulai—pelan, tapi pasti.