Broom Corn Johnnys – Asmara Abigail dikenal sebagai aktris dengan karakter unik dan pilihan peran yang tak biasa. Baru-baru ini, ia mengejutkan publik. Ia melahirkan sebuah karya seni bertajuk Lampu Ungu. Proyek ini bukan film, bukan juga pertunjukan teater. Lampu Ungu merupakan pameran seni yang memadukan performa dan instalasi visual. Gagasannya muncul dari perasaan personal. Ia mencurahkan kisah hidup, trauma, dan perenungannya ke dalam karya ini. Melalui Lampu Ungu, Asmara menunjukkan sisi lain dirinya. Ia tak hanya sebagai aktris, tapi juga seniman multidisiplin. Proses kreatif di balik karya ini sangat mendalam. Banyak tahapan yang dilalui sebelum karya itu tampil ke publik.
Asmara mengaku inspirasi utama berasal dari kehidupan nyata. Ia menyebut masa kecilnya cukup kompleks dan penuh tekanan. Ada luka lama yang belum selesai. Lampu Ungu menjadi ruang untuk berdamai dengan masa lalu. Warna ungu dipilih karena menyimbolkan transisi dan penyembuhan. Instalasi yang dipamerkan mencerminkan fragmen memori. Setiap objek dipilih berdasarkan muatan emosi yang dimilikinya. Asmara juga banyak mencatat mimpinya. Mimpi-mimpi itu kemudian dijadikan elemen dalam karya. Jadi, karya ini bukan sekadar fiksi. Ia adalah rekaman emosional yang nyata.
“Baca Juga : Tips Strategi Investasi Properti yang Aman Untuk Pemula, Langkah Awal Berinvestasi”
Untuk mewujudkan visinya, Asmara tak bekerja sendirian. Ia menggandeng seniman dari berbagai disiplin. Ada ilustrator, pematung, sound designer, hingga penulis puisi. Kolaborasi ini memperkaya lapisan makna dalam karya. Setiap seniman diberi kebebasan menafsirkan tema besar. Namun, tetap dalam koridor konsep yang ditetapkan Asmara. Ia bertindak sebagai kurator dan pengarah utama. Diskusi panjang terjadi sebelum produksi dimulai. Setiap elemen dikurasi agar selaras satu sama lain. Ini menciptakan pengalaman imersif bagi pengunjung.
Berbeda dengan naskah film, penulisan Lampu Ungu sangat intuitif. Tidak ada struktur tiga babak seperti di skenario. Asmara menulis berdasarkan ingatan dan perasaan saat itu. Ia menggunakan metode stream of consciousness. Kata demi kata mengalir tanpa disaring terlebih dahulu. Setelah itu, ia menyusun ulang bagian-bagian penting. Ia menyusun narasi bukan berdasarkan waktu, tapi emosi. Hal ini membuat alur karya terasa abstrak namun kuat. Beberapa bagian bahkan dibiarkan terbuka untuk interpretasi.
“Simak juga: Langkah “Diraya Idn” Memperkuat Citra Tenun Semarang di Konsumen”
Ruang menjadi bagian penting dari karya ini. Bukan hanya tempat, tapi juga medium utama. Asmara memilih galeri dengan pencahayaan minim. Ia ingin pengunjung merasa seperti memasuki alam bawah sadar. Tata letak ruang dibuat berlapis, seperti menyusuri memori. Lampu-lampu ungu menggantung dalam formasi tertentu. Setiap lampu memiliki cerita tersendiri. Ada suara-suara samar diputar secara acak. Semua elemen dirancang untuk memicu respons emosional. Ia menyebut ruangan itu sebagai perpanjangan dari tubuhnya.
Selama proses penciptaan, Asmara mengaku mengalami kelelahan emosional. Ia harus menggali perasaan lama yang sulit. Ada hari-hari di mana ia merasa kosong. Tapi justru dari kekosongan itulah muncul kekuatan baru. Ia belajar mengelola rasa takut dan cemas. Ia juga menjalani terapi selama proses berlangsung. Terapi membantunya memahami makna dari setiap elemen yang ia ciptakan. Ia mencatat emosi yang muncul setiap kali mengerjakan bagian karya. Proses ini seperti latihan kejujuran diri.
Setelah pameran dibuka, reaksi publik sangat beragam. Ada yang merasa tersentuh hingga menangis. Ada pula yang bingung karena bentuknya tidak biasa. Namun sebagian besar mengapresiasi keberanian Asmara. Mereka menganggap Lampu Ungu sebagai terobosan baru. Pengunjung juga menulis kesan mereka di dinding galeri. Komentar-komentar ini kemudian dijadikan bagian dari karya. Asmara mengaku tak mencari pujian. Ia hanya ingin berbagi kejujuran lewat medium seni.
Musik menjadi elemen penting dalam Lampu Ungu. Bukan musik yang harmonis, tapi suara-suara yang mengganggu. Asmara bekerja sama dengan sound designer dari Berlin. Mereka menggunakan bunyi detak jam, napas, hingga gema pintu. Suara-suara itu diputar secara acak dan saling tumpang tindih. Efeknya membuat suasana menjadi tidak nyaman. Namun justru dari ketidaknyamanan itu muncul refleksi. Musiknya tidak menghibur, tapi mengajak berpikir. Ini adalah pendekatan yang jarang digunakan dalam pameran lokal.
Judul Lampu Ungu tidak dipilih secara sembarangan. Warna ungu dalam psikologi dikenal sebagai simbol transformasi. Dalam konteks karya ini, ungu berarti keberanian menghadapi bayang-bayang. Lampu sebagai metafora dari pencarian arah. Asmara ingin setiap pengunjung merasa sedang menyusuri lorong batin mereka sendiri. Judul ini menyatukan semua elemen karya. Ia memberi konteks tanpa perlu menjelaskan secara verbal. Judul juga memberi ruang interpretasi luas bagi penonton.
Asmara tidak berhenti di Lampu Ungu saja. Ia berencana membuat proyek lanjutan dengan pendekatan serupa. Ia ingin menjelajahi medium lain seperti animasi dan virtual reality. Tujuannya adalah memperluas jangkauan emosional karya. Ia percaya seni adalah cara paling jujur untuk mengenal diri sendiri. Ia juga ingin mengadakan tur ke beberapa kota besar. Saat ini ia sedang menjajaki kemungkinan kerjasama dengan institusi budaya asing. Ia berharap lebih banyak seniman Indonesia berani bereksperimen.
Komunitas seni memberikan sambutan positif atas karya ini. Banyak kurator dan akademisi yang memuji keberanian Asmara. Mereka menyebutnya sebagai wajah baru seni performatif Indonesia. Beberapa galeri telah menyatakan minat untuk memamerkan Lampu Ungu. Bahkan, ada tawaran untuk membawa karya ini ke Eropa. Asmara tidak menyangka karya personal ini mendapat perhatian luas. Tapi ia tetap rendah hati. Ia menyebut semua ini adalah bonus dari kejujuran dalam berkarya.