Broom Corn Johnnys – Astaria memilih jalan hidup yang tidak biasa. Ia meninggalkan kenyamanan kota besar demi mengejar panggilan hati. Bukan karena kelelahan atau tekanan pekerjaan, tetapi karena kecintaan terhadap kerajinan tangan. Ia memutuskan pindah ke daerah untuk memulai bisnis berbahan dasar eceng gondok. Keputusan ini lahir setelah ia merasa jenuh dengan kehidupan ibukota yang serba cepat dan konsumtif.
“Baca Juga : Ide Dekorasi Rumah Mediterania Dengan Tampilan Ruangan Bernuansa Cerah Estetik”
Ketika sedang berlibur di Yogyakarta, Astaria melihat sekelompok pengrajin lokal mengolah eceng gondok menjadi tas. Ia terpukau oleh keindahan dan keunikan teksturnya. Dari situlah ia mulai mempelajari potensi kerajinan berbasis tanaman air ini. Ia mencari informasi, membaca artikel, bahkan berdiskusi langsung dengan pengrajin setempat. Semangatnya tumbuh karena ia melihat potensi besar yang belum banyak dilirik.
Astaria membangun karier di Jakarta selama lebih dari tujuh tahun. Ia bekerja di bidang pemasaran dan memiliki jenjang karier yang menjanjikan. Namun, tekanan kerja dan kemacetan ibukota membuatnya merasa terjebak. Ia mulai merindukan hidup yang lebih tenang dan bermakna. Keputusan untuk pindah pun tidak datang seketika. Ia memikirkan matang-matang, menimbang konsekuensi finansial dan sosial yang akan dihadapi.
“Simak juga: Lampu Gantung dari Serutan Kayu Mejeng di Majalah Jepang”
Setibanya di daerah, Astaria tidak langsung membangun pabrik. Ia memilih bekerja sama dengan pengrajin yang sudah ada. Ia memulai dari hal-hal kecil seperti membantu desain, mencatat pesanan, dan membuat katalog produk. Bersama warga desa, ia menyusun sistem produksi yang efisien. Ia juga membantu mereka memahami standar kualitas pasar urban. Usaha ini menjadi lebih dari sekadar bisnis, melainkan proyek pemberdayaan komunitas.
Meski eceng gondok cukup dikenal, pasar tetap meragukan kualitas produknya. Banyak orang menganggap eceng gondok hanya tanaman gulma. Astaria harus bekerja keras membangun brand yang mampu mengubah persepsi itu. Ia membuat kampanye digital, mengirim sampel ke influencer, dan mengikuti bazar lokal. Lambat laun, produk buatannya mulai diterima pasar. Ia merasa senang melihat reaksi positif dari pembeli pertama.
Astaria percaya bahwa bahan lokal bisa menjadi kekuatan besar bila dikelola dengan tepat. Eceng gondok, yang sebelumnya dianggap pengganggu, kini berubah menjadi sumber penghasilan. Ia bekerja sama dengan kelompok petani untuk memanen tanaman secara berkelanjutan. Ia juga belajar teknik pengolahan agar bahan tersebut lebih awet dan kuat. Dengan cara ini, ia menjaga keberlanjutan sekaligus menciptakan nilai tambah yang nyata.
Usahanya kini mempekerjakan lebih dari dua puluh ibu rumah tangga. Mereka mendapat pelatihan dan upah yang layak. Astaria merasa bangga bisa memberi kontribusi nyata untuk masyarakat sekitar. Ia percaya bahwa pembangunan tidak harus datang dari luar. Dengan menggali potensi lokal, masyarakat bisa tumbuh dari dalam. Model bisnis ini terbukti menciptakan dampak sosial yang signifikan dalam waktu singkat.
Bagi Astaria, menjual produk bukan hanya soal transaksi. Ia ingin konsumen memahami cerita di balik setiap barang yang dibeli. Ia mencantumkan informasi tentang proses pembuatan dan siapa pembuatnya. DiBroom Corn Johnnys –a juga menggunakan media sosial untuk mengedukasi pasar. Dengan strategi ini, ia membangun hubungan yang lebih kuat antara produsen dan pembeli. Ia berharap konsumen merasa lebih terlibat dan menghargai produk lokal.
Astaria tidak ingin berhenti pada kerajinan tas dan dompet. Ia ingin mengembangkan lini produk yang lebih beragam. Beberapa ide sudah ia siapkan, termasuk perabot rumah tangga dan aksesori interior. Ia juga berencana membuka pusat pelatihan untuk pengrajin muda. Ia ingin menjadikan usaha ini sebagai ekosistem kreatif yang terus berkembang. Impiannya sederhana: menciptakan perubahan lewat kerja nyata dan bahan lokal.